Kamis, 08 Oktober 2009

Pengembangan Paket Bimbingan Moral bagi Siswa Sekolah Menengah Pertama

Pengembangan Paket Bimbingan Moral bagi Siswa Sekolah Menengah Pertama

Rofiqah, Hj. Dra. M.Pd.
(Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Rahmat, Kepanjen Malang)




Abstract: Having considered the problem of morality faced by the youth, it is very significant to provide moral guidance service as an integral part of school guidance and counseling program in junior high school. Such service completes the conventional program of school guidance and counseling that covers learning, career, personal, and social problems of the students. This sound recommendation is, however, difficult to be applied since the practical and verified reference and material for moral guidance is still unavailable. This project is intended to develop a prototype and examine the effectiveness of moral guidance package. The model of development that is applied in this project is the combination of the Systematic Instructional Design and the model of Educational Research and Development. Substantively, the prototype of the package covers universal moral values and instrumental moral values. The package is, therefore, is not only intended to help the students in learning the moral values, but also to develop their capability of moral reasoning, to stimulate their moral intuition responsiveness and their moral emotion sensitiveness.

Kata kunci: penalaran moral, intuisi moral, paket bimbingan, klarifikasi nilai.




Permasalahan moral dihadapi oleh manusia tidak hanya ketika sudah dewasa, tetapi juga sudah muncul ketika masih berusia remaja. Dari waktu ke waktu, permasalahan moral di kalangan remaja cenderung semakin meningkat baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Dina, Puspita, Tanjung dan Widiastuti, 2001; Pribadi, 2003; Rofiqah, 2005). Demikian pula, sebuah survai berlokasi di pinggiran kota besar, memberikan gambaran cukup memprihatinkan tentang moralitas remaja sekarang (Masngudin, 2006).
Dengan 40 responden remaja usia 13 - 21 tahun, kenakalan remaja digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu: (1) kenakalan biasa seperti berbohong, pergi ke luar rumah tanpa pamit pada orang tuanya, keluyuran, berkelahi dengan teman, membuang sampah sembarangan dan sejenisnya, (2) kenakalan pelanggaran dan kejahatan seperti mengendarai kendaraan tanpa SIM, kebut-kebutan, mencuri, dan mengkonsumsi minuman keras, dan (3) kenakalan khusus seperti hubungan seks di luar nikah, “kumpul kebo”, menyalahgunakan narkotika, terlibat dalam kasus pembunuhan, pemerkosaan, serta menggugurkan kandungan (Masngudin, 2006).
Dilaporkan bahwa seluruh responden pernah melakukan kenakalan biasa. Tindakan berbohong, misalnya, telah dilakukan oleh seluruh responden. Ini menunjukkan telah begitu menurunnya kehendak untuk bertindak jujur. Jenis kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan, juga cukup banyak dilakukan oleh responden. Bahkan kenakalan khusus pun banyak dilakukan oleh responden, yang menunjukkan kurang tumbuhnya rasa tanggung-jawab di kalangan kaum muda sekarang
Semua gejala tersebut merupakan masalah sekaligus tantangan yang harus diselesaikan dan dijawab dengan usaha yang lebih serius. Bila diharapkan mampu menghasilkan keluaran yang tanggap terhadap tantangan dan tuntutan perubahan zaman, maka upaya untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral pun harus mempertimbangkan tantangan dan tuntutan perubahan zaman. Artinya, ketika tantangan dan tuntutan zaman mengalami perubahan, maka baik muatan, pendekatan, dan metode pembelajaran moral pun senantiasa perlu perbaikan, karena cara-cara lama dipandang kurang memadai lagi untuk menjawab tantangan dan tuntutan zaman tersebut.
Sebagaimana dikemukakan oleh Rogers (1977: 186), suatu generasi tidak dapat sekedar menyampaikan seperangkat nilai yang siap pakai kepada generasi penerusnya. Setiap tahapan sejarah baru membawa perkembangan-perkembangan baru yang menuntut reorientasi perangkat nilai dan moral, agar senantiasa bekerja bagi masyarakatnya.
Nevertheless, one generation cannot hand down already-made set of values to another. For each new stage in history brings new developments wich require a reorientation in morals and values, in order that they properly serve the society that created them (Rogers, 1977: 186, dalam Budiningsih, 2001).

Terkait dengan keniscayaan perubahan yang menuntut reorientasi moral dan nilai tersebut, telah banyak kejadian berdimensi moral diberitakan, keprihatinan moral disuarakan, dan wacana pembinaan moral dikembangkan. Selain sejumlah karya yang bisa dikategorikan sebagai bahan ajaran moral dari tinjauan filsafat dan agama, juga terbit beberapa buku tentang pembelajaran moral (Budiningsih, 2004; Wahyuning, Jash dan Rachmadiana, 2003; Raines dan Isbell, 2002; Schiller dan Bryant, 2002).
Semua gejala pergeseran nilai-nilai tersebut berimplikasi pada pentingnya melakukan usaha-usaha lebih sungguh-sungguh untuk memberikan bimbingan moral bagi kaum muda sekarang. Tujuannya, selain membantu kaum muda mencapai tugas perkembangan sesuai dengan usianya, juga dalam jangka panjang, memutus mata-rantai permasalahan moral bangsa ini di masa mendatang. Sejalan dengan himbauan agar sekolah lebih peka terhadap masalah kemampuan penalaran moral siswa, Rosjidan (2004: 1) menganjurkan agar bidang bimbingan yang selama ini terdiri dari empat bidang yaitu pribadi, sosial, belajar dan karir nampaknya perlu ditambahkan yaitu bimbingan moral, sehingga menjadi lima bidang bimbingan. Ditilik dari tujuannya, himbauan dan anjuran ini mengarah pada perumusan Tuana (2003: 2), agar para remaja tidak hanya melek baca, tulis dan hitung (reading, writing, and arithmetic), tetapi juga melek moral (moral literacy) agar bisa: (1) menjamin bahwa persoalan moral dapat diketahui (knowledgeable), (2) menumbuhkan kearifan moral (moral virtue), dan (3) mengembangkan kecakapan penalaran moral (skills of moral reasoning).
Sebagai kegiatan pengembangan, proyek ini merumuskan permasalahan sebagai kesenjangan antara harapan dengan kenyataan. Secara umum telah diuraikan, bimbingan moral merupakan salah satu layanan yang sangat diperlukan, tidak hanya bagi siswa sebagai pribadi, tetapi juga bagi masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Namun demikian, belum tersedia bahan acuan berupa paket belajar bimbingan moral yang teruji dan dapat digunakan oleh konselor sekolah.
Permasalahan pengembangan ini dapat disajikan sebagai kesenjangan antara harapan dan kenyataan (what should be and what is). Diharapkan tersedia paket bimbingan moral yang disusun berdasarkan langkah-langkah metodologis pengembangan program pendidikan, bahan-bahan yang ada belum teruji kegunaan, kelayakan dan ketepatannya bagi siswa Sekolah Menengah Pertama. Namun demikian, ternyata belum tersedia paket bimbingan moral yang disusun berdasarkan langkah-langkah metodologis pengembangan program pendidikan, bahan-bahan yang ada belum teruji kegunaan, kelayakan dan ketepatannya bagi siswa Sekolah Menengah Pertama.
Bertolak dari kesenjangan tersebut, pengembangan ini bertujuan: (1) menyusun paket bimbingan moral bagi siswa Sekolah Menengah Pertama berdasarkan langkah-langkah metodologis pengembangan paket belajar, dan (2) menguji kegunaan, kelayakan dan ketepatan paket bimbingan moral bagi siswa Sekolah Menengah Pertama berdasarkan penilaian para ahli, para pengguna, dan kelompok sasaran siswa.


TINJAUAN PUSTAKA
Apabila kesadaran dan atau kemelekan moral ditetapkan sebagai salah satu tujuan bimbingan bagi siswa, maka tersedia beberapa model teoretik sebagai landasan. Secara umum, ada tiga model teoretik pertimbangan moral, yaitu: model rasionalis, model intuisionis, dan model interaksionis. Semua model ini menempatkan emosi moral (moral emotion) sebagai proses penyerta, sehingga tidak dikemukakan adanya model moral emotionis. Untuk pengembangan program bimbingan moral, maka harus dipilih model teoretik yang benar-benar realistik dan berimplikasi praktik.
Sebagaimana dikemukakan Wright (2005: 2), terdapat dua model utama pertimbangan moral, yaitu: (1) model rasionalis, dan (2) model intusionis. Selain Piaget (1932) yang dikenal sebagai perintis model ini, belakangan justru Kohlberg (1977) yang dikenal sebagai tokoh utama model rasionalis, sedangkan Haidt (2001) dan Mikhail (2002) dikenal sebagai dua tokoh utama model intusionis.
Menurut Haidt (2001: 814), penelitian-penelitian tentang pertimbangan moral telah didominasi oleh model rasionalis. Menurut model rasionalis, penilaia moral disebabkan oleh penalaran moral. Sebaliknya, model intuisionis tidak menekankan pada penalaran moral pribadi, melainkan petingnya pengaruh sosial budaya. Pertimbangan moral, menurut model intusionis merupakan hasil dari penilaian secara cepat dan otomatis. Meskipun model intuisionis dihadirkan sebagai alternatif terhadap model rasionalis, pada dasarnya tetap diakui bahwa dalam kenyataannya pertimbangan moral melibatkan baik penalaran rasional maupun intuisi afektual. Karena itu, belakangan diupayakan model yang memadukan antara model rasionalis dan model intuisionis.
Upaya untuk memadukan dua model pertimbangan moral antara lain dilakukan oleh Anderson (2004), dan Wright (2005). Temuan-temuan penelitian Anderson (2004) mendukung pendirian interaksionis yang mengusulkan bahwa para partisipan penelitian menggunakan intuisi dan penalaran secara berbeda, bergantung pada dilema yang dinilai.
The findings support the interactionist position by suggesting that participants used intuition and reasoning differently depending on the dilemma being judged. In situations that were predicted to require reasoning (no-intuition dilemmas and strong conflicting intuition dilemmas), participants did poorly in the fast time condition. However in the dilemmas when reasoning was hypothesized to be causally inert (noconflicting intuition dilemmas), there was no difference in participants’ performances between the time conditions. These findings call into question both strong intuitionist and strong rationalist positions but support the dual-process interactionist model (Anderson, 2004: 4).

Cushman, Young dan Hauser (2006: 1088) menyimpulkan bahwa penelitiannya mendukung model multi-sistem. Model ini tidak saja menyertakan penalaran secara sadar, tetapi juga intuisi moral seketika. Dengan demikian, pendirian serba kaku baik yang dipegang oleh kalangan rasionalis maupun kalangan intuisionis, sama-sama kurang didukung oleh penelitian yang mereka lakukan.


In conclusion, this article has outlined a novel methodological approach to the study of moral psychology, highlighting the interaction of intuition and conscious reasoning and emphasizing the distinction between the principles that people use and the principles that people articulate (Cushman, Young dan Hauser, 2006: 1088).

Berdasarkan berbagai pemikiran yang berkembang, baik dari kalangan rasionalis, kalangan intuisionis, maupun interaksionis, Wright (2005) merumuskan model keahlian (expertise model). Selain menyertakan unsur-unsur model rasionalis dan unsur-unsur model intuisionis, model keahlian memunculkan dua proses yang dapat diandalkan, yaitu: persepsi terlatih (trained perception) dan ketanggapan otomatis (automatic responsiveness). Persepsi terlatih adalah proses yang dilalui oleh pola-pola rangsang yang rumit, ciri-ciri penyusun atau contoh yang bermakna, secara langsung (bukan secara inferensial) dipersepsi. Ketanggapan otomatis adalah proses yang dilalui program atau perangkat gerak otomatis diaktifkan dan diadaptasi setiap saat agar secara memadai cocok dengan ciri-ciri situasional yang secara orisinal telah mengaktifkan mereka. Untuk memberikan gambaran lebih lengkap, berikut disajikan model keahlian (Periksa Gambar 1).

Gambar 1 Model Keahlian Tindakan Moral (Wright, 2006: 23)

Proses tindakan moral dimulai ketika individu melihat ada situasi yang memancing dilema moral (perception of eliciting situasion). Segera setelah itu, dalam diri individu berlangsung dua kejadian, yaitu: intuisi moral dan emosi moral berupa tanggapan yang dibenarkan. Dua kejadian simultan ini akan membentuk pandangan tertentu. Persepsi terlatih (TP) ini yang oleh Wright (2005) dinyatakan akan berhubungan langsung dengan pertimbangan moral. Sementara itu, sejak proses kedua, sebenarnya juga berlangsung penalaran moral yang mendukung pertimbangan moral. Akhirnya, sebelum individu mengambil keputusan untuk melakukan tindakan moral, dalam dirinya juga berlangsung ketanggapan otomatis.
Anderson (2004: 16) yang sejalan dengan Wright (2005) memberikan penjelasan lebih runtut. Pertama, segera setelah seorang individu menyadari adanya dilema moral, sebuah intuisi moral diaktifkan. Intuisi moral tersebut selanjutnya didukung oleh penalaran moral. Bisa pula intuisi moral tersebut dimodifikasi oleh penalaran moral dengan tujuan mengoreksi beberapa kemencengan yang terjadi. Ketika dua atau lebih intuisi yang saling bertentangan teraktifkan, maka penalaran moral akan mengambil keputusan di antara mereka. Terakhir, ketika tanggapan intuitif tidak muncul dalam pikiran individu, maka suatu penilaian dihasilkan oleh penalaran moral.
Tinjauan terhadap ragam pendekatan bimbingan moral menunjukkan ada tiga pendekatan yang berkembang dan diterapkan hingga sekarang. Masing-masing adalah pendekatan otoritatif, pendekatan liberal, dan pendekatan klarifikasi nilai. Pertama, pendekatan otoritatif yang lebih dikenal sebagai pendekatan pengajaran moral, karena pendidik ditempatkan sebagai pihak yang berkepentingan untuk mewariskan nilai-nilai moral yang mereka junjung tinggi, sedangkan siswa dipandang sebagai pihak yang hanya perlu menyerap untuk kemudian mengamalkan ajaran moral tersebut.
Pendekatan kedua, yang merupakan lawan dari pendekatan otoritatif, dilakukan dengan cara orangtua atau pendidik memberi kebebasan penuh kepada anak selaku siswa untuk memilih dan menentukan nilai-nilai mereka sendiri. Cara ini sering menimbulkan pertentangan batin dalam diri anak karena harus memilih dalam kebingungan, satu atau beberapa dari bermacam-macam nilai yang berkembang dalam masyarakat.
Pendekatan ketiga adalah dengan teknik klarifikasi nilai. Pendekatan ketiga ini merupakan pendekatan cara pemilihan nilai yang dipandang oleh para ahli dapat mengatasi kekurangan yang ada pada dua pendekatan terdahulu. Dalam proses klarifikasi nilai, siswa terlibat secara aktif, siswa mengembangkan pemahaman dan pengenalannya terhadap nilai-nilai pribadi, mengambil keputusan dan bertindak sesuai dengan keputusan yang telah diambil. Peran pembimbing adalah sebagai fasilitator yang bertugas merangsang dan mendorong siswa.
Hart (1978: 8) yang mengutip sejumlah peneliti sebelumnya menjelaskan ada tiga tahap dalam klarifikasi nilai, yaitu: menghargai (prizing), memilih (choosing), dan bertindak (acting) yang mencerminkan rangkaian proses pengenalan, penyempurnaan dan penerapan. Dalam tiap-tiap tahap terdapat sub tahap sebagai berikut:

Menghargai

a. mempertimbangkan dan menghargai nilai-nilainya
b. mengatakan secara terbuka nilai-nilai yang dianggap penting
Memilih

a. memilih dari berbagai alternatif
b. memilih setelah mempertimbangkan konsekuensinya
c. memilih dengan bebas
Bertindak

a. bertindak atas pilihan yang diambil
b. bertindak terpola, konsisten dan terus-menerus


Gambar 2 Tiga Tahap Klarifiksi Nilai (Hart, 1978: 8)

METODE PENGEMBANGAN
Pengembangan pendidikan ini memadukan rancangan pembelajaran sistematik gagasan Dick dan Carey (2001) dengan model Penelitian Pengembangan Pendidikan gagasan Baker (1971). Hasil perpaduan model beserta prosedur operasional yang dilakukan dalam pengembangan ini tersaji sebagai berikut:


Tabel 1 Model dan Prosedur Pengembangan

No Tahapan Langkah Sumber dan Teknik
1 • Pra-Pengembangan

• Kajian Pustaka

• Buku Teks
• Hasil Penelitian
• Media Massa
• Asesmen Kebutuhan

• Studi Kasus
• Konselor
• Guru
• Siswa
2 • Pengembangan Prototipe

• Penulisan Panduan Konselor

• Penulisan Naskah
• Pengembangan Paket Belajar

• Penulisan Naskah
• Illustrasi Naskah
3 • Pengujian dan Perbaikan Prototipe
• Uji Ahli

• Uji Ahli Filsafat Moral
• Uji Ahli Konseling
• Uji Ahli Teknologi Pembelajaran
• Uji Lapangan

• Uji Lapangan Terbatas

• Uji Kelompok Pengguna
• Uji Kelompok Sasaran
• Diskusi Rekan Sejawat
• Perbaikan Prototipe

• Revisi Panduan Konselor
• Penyempurnaan Paket Belajar
4.• Pelaporan, Pertanggung-jawaban, dan Perbikan
• Penulisan Naskah Laporan

• Penulisan Naskah
• Pertanggungjawaban
• Ujian
• Perbaikan

• Revisi Laporan
• Revisi Paket Bimbingan

Setelah melakukan beberapa langkah pra-pengembangan, tahap pengembangan prototipe dilakukan dalam tujuh langkah, yaitu: (1) merumuskan tujuan umum bimbingan, (2) melakukan analisis bimbingan, (3) melakukan analisis konteks dan karakteristik siswa, (4) merumuskan tujuan khusus bimbingan, (5) mengembangkan instrumen penilaian, (6) mengembangkan strategi bimbingan, dan (7) mengembangkan dan memilih materi bimbingan.
Tahap penilaian, pengujian dan perbaikan prototipe paket bimbingan moral dilakukan dalam dua tahap, yaitu: (1) tahap penilaian dan perbaikan pra-lapangan, dan (2) tahap pengujian lapangan dan perbaikan pasca lapangan. Secara ringkas beberapa ahli yang dilibatkan dalam penilaian prototipe paket bimbingan moral ini dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2 Penilaian Prototipe Paket Bimbingan Moral Oleh Beberapa Ahli
No Nama Keahlian dan Profesi Peran-serta, Teknik, dan Analisis
1 Ahli I • Sarjana Pendidikan Luar Sekolah, Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris, Magister Sosiologi, Kandidat Doktor Ilmu Sosial.
• Dosen Pengantar Filsafat Ilmu, Etika dan Estetika, dan Sejarah Pemikiran Modern Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Humaniora dan Budaya, Universitas Islam Negeri (UIN) Malang dan STIBA Malang.
• Ketua Badan Akreditasi Sekolah Kota Malang, dan mantan Sekretaris Dewan Pendidikan Kota Malang. • Melakukan uji filosofis domain dan dimensi moral universal-instrumental, dan personal-sosial untuk pengembangan paket bimbingan moral.
• Review Ahli
• Deskriptif-Kuantitatif
2 Ahli II • Sarjana Bimbingan Konseling, Magister Bimbingan Konseling, Kandidat Doktor Bimbingan Konseling.
• Dosen Jurusan Bimbingan dan Konseling, FKIP Universitas Negeri Mataram.
• Ketua • Melakukan uji kelayakan (kegunaan, ketepatan, keberterimaan) Paket Bimbingan Moral
• Review Ahli
• Deskriptif-Kuantitatif
3 Ahli III • Sarjana Ilmu Pendidikan, Magister Teknologi Pembelajaran, Kandidat Doktor Teknologi Pembelajaran.
• Dosen Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, FKIP Universitas Negeri Malang. • Melakukan uji kelayakan teknologis (keefektifan, keefisienan, kemenarikan) Paket Bimbingan Moral
• Review Ahli
• Deskriptif-Kuantitatif

Setelah dilakukan perbaikan berdasarkan penilaian dan masukan dari ahli terkait, prototipe paket bimbingan diuji-coba di lapangan. Secara ringkas kelompok yang dilibatkan dalam uji-coba lapangan penilaian prototipe paket bimbingan moral ini dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3 Kelompok Uji-coba Lapangan Penilaian Prototipe Paket
No Nama Keahlian Peran Serta
1 Konselor 1
• Sarjana Bimbingan dan Konseling
• Konselor SMP Negeri 7 Kota Malang • Melakukan uji penerapan (kesesuain dan kemudahan) Paket Bimbingan Moral
• Daftar Cek
• Deskriptif-Kuantitatif
2 Konselor
• Sarjana Bimbingan dan Konseling
• Konselor SMP Negeri 19 Kota Malang • Melakukan uji penerapan (kesesuain dan kemudahan) Paket Bimbingan Moral
• Daftar Cek
• Deskriptif-Kuantitatif
3 Konselor • Sarjana Bimbingan dan Konseling
• Konselor SMP Negeri 5 Kota Malang • Melakukan uji penerapan (kesesuain dan kemudahan) Paket Bimbingan Moral
• Daftar Cek
• Deskriptif-Kuantitatif
4 24 Peserta Didik
• Siswa Kelas 2 SMP Negeri 21 Malang • Mengikuti layanan bimbingan dengan Paket Bimbingan dan memberikan Tanggapan Afektif (menarik, menyenangkan, mengasyikkan)
• Lembar Penilaian Siswa
• Analisis rerata versus kriteria

Sedangkan pengujian lapangan prototipe paket bimbingan yang dilakukan berdasarkan hasil pengumpulan data dari siswa dengan interview, uji coba yang digunakan adalah model evaluasi kesenjangan (discrepancy evaluation model) yang dikembangkan oleh Provus (1972). Model ini didasarkan pada pendekatan sistematik bahwa evaluasi mencakup perbandingan antara unjuk kerja (performance) dengan patokan (standard) untuk melihat apakah antara keduanya terdapat kesenjangan atau tidak (Popham, 1975).
Berikut diketengahkan model kesenjangan yang digunakan di dalam penelitian evaluasi ini.

Dimana,
Angka: sub-(tahapan) atau jenjang program.
S : Patokan sebagai kriteria
P : Kinerja nyata
CP: Perbandingan
C : Informasi Kesesuaian
D : Informasi Kesenjangan
T : Penghentian
A : Pengubahan Patokan atau Kinerja
(1) dan (2) : Satuan Waktu Program

Gambar 3 Model Penilaian Kesenjangan Provus (1972, dalam Passineau, 1975)

Model kesenjangan diterapkan dengan langkah: (1) menetapkan patokan masing-masing komponen sistem program, (2) mengumpulkan data unjuk kerja komponen sistem program, dan (3) membandingkan untuk mendapatkan informasi ada atau tidak dan seberapa besar kesenjangan antara patokan dengan unjuk kerja nyata komponen sistem program.
Data untuk uji lapangan dikumpulkan dari siswa yang telah mengikuti program bimbingan moral. Dalam hal ini siswa diminta untuk memberikan tanggapan afektif (menarik, menyenangkan, dan mengasyikkan) serta terhadap strategi dan paket bimbingan moral. Analisis dilakukan dengan teknik uji rerata hitung untuk sampel tunggal (one sampel t-test). Penghitungan dilakukan dengan memanfaatkan program SPSS for Windows Reease 13.00. Penarikan kesimpulan didasarkan pada uji satu ekor, dengan tingkat kepercayaan α = 0.05.


HASIL PENGEMBANGAN
Setelah melalui sejumlah pengujian dan perbaikan, hasil akhir pengembangan ini berupa: (1) Panduan Konselor Bimbingan Moral Siswa SMP, dan (2) Paket Bimbingan Moral untuk Siswa SMP.
Panduan konselor berisi: (1) Pendahuluan, (2) Petunjuk Teknis Kegiatan Bimbingan Tanggungjawab, (2) Petunjuk Teknis Kegiatan Bimbingan Kejujuran, (3) Petunjuk Teknis Kegiatan Bimbingan Kedisiplinan, (4) Petunjuk Teknis Kegiatan Bimbingan Kerajinan, (5) Petunjuk Teknis Kegiatan Bimbingan Perilaku Hemat, (6) Petunjuk Teknis Kegiatan Bimbingan Kesopanan, dan (7) Petunjuk Teknis Kegiatan Bimbingan Tenggangrasa (Tersaji dalam 32 halaman kertas A4).
Paket Bimbingan Moral untuk Siswa SMP terdiri tujuh penggalan, yaitu:: (1) Penggalan 1 Tanggungjawab, (2) Penggalan 2 Kejujuran, (3) Penggalan 3 Kedisiplinan, (4) Penggalan 4 Kerajinan, (5) Penggalan 5 Perilaku Hemat, (6) Penggalan 6 Kesopanan, dan (7) Penggalan 7 Tenggangrasa (Setiap penggalan tersaji antara 12 s.d. 16 halaman kertas A4).
Dalam setiap penggalan disajikan rasional, tujuan umum dan tujuan khusus, petunjuk pelaksanaan kegiatan, rincian kegiatan pertemuan masing-masing pertemuan. Tekanan utama pada pertemuan pertama adalah pemahaman siswa terhadap tujuan kegiatan, materi dilematika, pengungkapan perasaan, dan pembentukan kelompok. Tekanan utama pada pertemuan kedua adalah pemahaman siswa terhadap konsep dan contoh nilai moral, permainan peran, pengungkapan suara hati, dan penegasan keputusan moral. Tekanan utama pertemuan ketiga adalah evaluasi terhadap kegiatan bimbingan, yang mencakup kegiatan menjawab pertanyaan yang bersifat kognitif-rasional, dan mengungkapkan kesan-kesan personal mereka terhadap kegiatan bimbingan yang telah mereka ikuti.
Perangkat Panduan Konselor Bimbingan Moral Siswa SMP, dan Paket Bimbingan Moral bagi Siswa SMP ini telah dikembangkan secara metodologik berdasarkan landasan teoretik dan empirik, serta telah mengalami pengujian dan perbaikan secara bertahap, mulai dari penilaian tim ahli, penilaian praktiksi konseling, uji-lapangan terbatas, dan penilaian rekan sejawat.


KAJIAN DAN SARAN
Dengan mempertimbangkan daya-terap (applicability) serta keterbatasan masing-masing pendekatan bimbingan moral, penulis menganjurkan model perpaduan dengan langkah pertama mengidentifikasi tiga jenis proses yang berlangsung dalam pertimbangan moral. Masing-masing adalah: (1) proses intuitif, (2) proses emotif, dan (3) proses kognitif. Langkah kedua, menempatkan proses intuitif sebagai tahapan kebolehjadian (probability). Artinya, ketika seorang individu menyadari ada dilema moral, maka intuisi moral tidak niscaya muncul dalam benaknya. Karena itu, sebagai langkah ketiga, penulis menempatkan proses emotif dan proses kognitif sebagai komplemen atau suplemen terhadap proses intuitif. Artinya, proses emotif dan atau kognitif berfungsi komplementer ketika intuisi moral tidak muncul dalam benak individu. Sebaliknya, proses emotif dan atau kognitif berfungsi suplementer manakala individu kurang yakin dengan hasil intuisi moralnya, atau ketika terjadi kemencengan yang perlu dikoreksi, atau ketika hasil intuisinya lebih dari dua atau tiga yang saling bertentangan (Periksa Gambar 4).
Proses Klarifikasi Nilai
Kegiatan Bimbingan
Mengetahui* Penghadapan masalah moral
Menghargai
Pemberian kesempatan untuk menegaskan intuisi moral
(Bila tidak muncul, langsung ke langkah Nomor 3)
(a) (Bila sejalan dengan nilai moral harapan)
Penguatan dengan penalaran moral dan perasaan moral
Mengoreksi* (b) (Bila terjadi kemencengan dari nilai moral harapan) Pengubahan dengan penalaran moral dan penguatan dengan perasaan moral
Memilih
Memilih (c) (Bila muncul dua atau lebih intuisi moral yang saling bertentangan)
Penilaian berdasarkan hasil penalaran moral dan penguatan dengan perasaan moral
Pertimbangan moral melalui penalaran moral dan penguatan dengan perasaan moral
Bertindak Penilaian hasil bimbingan berdasarkan sikap dan tindakan moral
Gambar 4 Model Teoretik Pengembangan Paket Bimbingan Moral

Penulis, sebagaimana tampak dari model teoretik tersebut, meyakini bahwa proses pertimbangan moral tidak berlangsung secara linier sebagaimana diteorikan oleh para teoritisi rasionalis, tetapi juga tidak menerima begitu saja pendapat para teoritisi intuisionis, maupun kalau misalnya ada para teoritisi emosionalis. Proses pertimbangan moral yang berlangsung dalam batin manusia diyakini merupakan hasil perpaduan antara proses intuitif, emotif dan kognitif. Karena itu, upaya untuk membantu individu dalam mengembangkan kemampuan pertimbangan moral, maka ketiga proses tersebut harus mendapatkan perhatian secara proporsional. Ketika proses intuitif bekerja dengan baik, maka proses kognitif berfungsi suplementer, sedangkan ketika proses intuitif tidak bekerja dengan baik, maka proses kognitif berfungsi komplementer. Dalam seluruh kemungkinan mekanisme tersebut, proses emotif berfungsi motivasional.
Secara teknis, pendekatan bimbingan moral dilaksanakan dengan memadukan teknik tugas perseorangan, permainan peran, dan diskusi kelompok. Agar memenuhi prinsip motivasional, baik dalam proses maupun pasca proses bimbingan moral, maka paket bimbingan moral diupayakan cukup menarik sesuai dengan kecenderungan dan tugas perkembangan siswa usia SMP.
Sejalan dengan kesimpulan bahwa pembelajaran moral kurang efektif bila menggunakan pendekatan otoritatif maupun liberal, maka paket bimbingan moral yang dikembangkan tidak dimaksudkan sebagai paket belajar individual. Dengan demikian, penerapan paket ini harus dibimbing oleh seorang konselor dan dalam format kegiatan kelompok atau kelas.
Akhirnya, kelayakan dan perbaikan hasil pengembangan program bimbingan moral ini harus diuji, tidak hanya berdasarkan penilaian ahli filsafat moral, ahli bimbingan dan konseling, dan ahli teknologi pembelajaran, tetapi juga didasarkan pada analisis data empirik hasil uji-coba terbatas, baik berdasarkan laporan pengalaman konselor yang menerapkan maupun tanggapan dari para siswa yang menjadi subjek ujicoba paket bimbingan moral.
Berdasarkah seluruh tinjauan pustaka, baik teoretik maupun empirik, dapat ditarik beberapa implikasi praktik sebagai landasan pengembangan program bimbingan moral dengan sasaran khusus remaja siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Hasil analisis konteks dan karakteristik siswa menunjukkan bahwa meskipun kecakapan berbahasa mereka sudah cukup baik, siswa SMP lebih bisa menerima ungkapan dan kalimat yang relatif sederhana, inter-personal, dan poluper dan informal. Karena itu, penulis berupaya menggunakannya sebagai salah satu pertimbangan penting dalam merumuskan baik judul maupun isi paket bimbingan. Sebagai contoh, meskipun lazimnya paket dimulai dengan rasional yang berisi penjelasan dasar pemikiran yang melandasi perlunya pokok bahasan tertentu, istilah rasional tidak lebih diterima dibanding istilah pengantar. Jadi, meskipun berisi penjelasan dasar pikiran, dalam paket bimbingan sub-judul ini disebut pengantar.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka yang lazim disebut rasional diganti dengan istilah pengantar, istilah penghadapan masalah moral yang pada dasarnya menguraikan satu atau lebih kasus yang mengandung persoalan moral, tentu belum bisa diterima oleh siswa SMP. Karena itu, istilah yang digunakan adalah dilematika. Demikian seterusnya, sehingga untuk sub-judul intuisi moral menjadi suara hatiku, penalaran moral menjadi penjelasanku, emosi moral menjadi perasaanku, keputusan pertimbangan moral menjadi keputusanku, tindakan moral menjadi tindakanku, dan respon terhadap program menjadi kesan-kesanku.
Masih berdasarkan hasil analisis konteks dan karakteristik siswa, terungkap bahwa siswa SMP memiliki kecenderungan peralihan antara kebiasaan komunikasi verbal dengan visual. Mereka sudah mulai meninggalkan komik anak-anak yang lebih mengedepankan gambar, tetapi belum terbiasa sepenuhnya untuk menyerap informasi hanya dari tulisan verbal. Karena itu, paket bimbingan ini mengikuti pola penceritaan untuk remaja SMP, yakni perpaduan antara tulisan verbal dengan gambar visual. Illustrasi dengan gambar serta deskripsi dengan kalimat digunakan secara simultan tidak hanya untuk memperjelas pesan yang ingin disampaikan, tetapi juga untuk meningkatkan daya-tarik bahan bimbingan. Penerapan model ini sejalan dengan anjuran Rosjidan (2004) agar dalam mengembangkan paket bimbingan diperhatikan tiga kata kunci, yaitu: motivasi, informasi, dan latihan.
Secara ringkas, hubungan antara langkah bimbingan moral dengan struktur paket bimbingan bisa disajikan sebagai berikut:


No. Langkah Bimbingan Moral Struktur Paket
1 Penjelasan Dasar Pikiran Pengantar
2 Perumusan Tujuan Tujuan
2.1 Tujuan Umum Tujuan Umum
2.2 Tujuan Khusus Tujuan Khusus
3 Langkah Kegiatan Bimbingan Petunjuk
3.1 Penghadapan masalah moral Dilematika
3.2 Pemberian kesempatan dengan perasaan moral Perasaanku
3.2.1 (Bila sejalan dengan nilai moral harapan)
Penguatan dengan penalaran moral Penjelasanku
Penguatan dengan menegaskan intuisi moral Suara Hatiku
3.2.2 (Bila terjadi kemencengan dari nilai moral harapan)
Pengubahan dengan penalaran moral Penjelasanku
3.2.3 (Bila muncul dua atau lebih intuisi moral yang saling bertentangan)
Penilaian berdasarkan hasil penalaran moral Penjelasanku
3.3 Pertimbangan moral melalui penalaran moral Penjelasanku
3.4 Penilaian hasil berdasarkan keputusan moral Keputusanku
Penilaian hasil berdasarkan tindakan moral Tindakanku
4 Penilaian Program Bimbingan Kesan-kesanku
Gambar 5 Langkah Bimbingan Moral dan Struktur Paket Bimbingan Moral

Akhirnya, meskipun disadari masih terdapat sejumlah kelemahan dalam paket bimbingan moral, baik yang diuji-cobakan maupun yang sudah direvisi, khususnya menyangkut substansi nilai moral, tidak berarti paket bimbingan moral ini tidak bisa dimanfaatkan. Alasan yang mendasarinya cukup mudah dipahami, yaitu karena bangsa ini pun --- termasuk siswa SMP --- juga menghadapi persoalan berdimensi moral seperti rendahnya tanggungjawab, kejujuran, disiplin, sikap rajin, hemat, sopan dan tenggang-rasa.
Berdasarkan seluruh proses, hasil, serta pelajaran yang bisa dipetik dari kegiatan pengembangan paket bimbingan moral ini, berikut diajukan saran pemanfaatan, penyebaran, dan pengembangan lanjutan.
Pertama, dalam rangka pemanfaatan, memang tersedia banyak pilihan metode dan materi pembelajaran moral. Hampir semuanya merupakan bagian tak terpisahkan dari matapelajaran yang menjadi tugas dan wewenang para guru bidang studi. Dengan adanya paket bimbingan moral ini, maka para praktisi konselor bisa memanfaatkannya sebagai materi bimbingan siswa SMP.
Guna pemanfaatan ini, disarankan agar: (1) konselor sekolah senantiasa meningkatkan wawasan dan pengetahuan tentang pendekatan klarifikasi nilai termasuk modifikasinya, serta nilai-nilai moral dasar sebagai mana yang dikembangkan supaya kesadaran dan kemampuan mengklarifikasi nilai-nilai moral tumbuh dari diri siswa itu sendiri, dan (2) konselor memiliki kemampuan untuk memberikan dorongan kepada siswa untuk aktif dalam mengikuti langkah-langkah yang ada dalam paket supaya bisa mendapatkan hasil yang maksimal.
Guna penyebaran untuk sasaran yang lebih luas, disarankan agar tidak dilakukan secara parsial, melainkan menyeluruh. Artinya, upaya diseminasi paket bimbingan moral ini tidak bisa dilaksanakan hanya dengan memberikan paketnya kepada konselor atau kepada siswa, melainkan harus didahului dengan pendidikan dan atau pelatihan pendek tentang bimbingan moral bagi remaja SMP.
Guna pengembangan lebih lanjut, disarankan untuk memasukkan nilai-nilai etika paling dasar yang mencakup: (1) kehendak baik, (2) keadilan, (3) hormat diri, (4) disiplin, (5) rajin, (6) hemat, (7) sopan, dan (8) tenggang-rasa. Sedangkan format paket bimbingan yang disarankan untuk pengembangan lebih lanjut untuk memanfaatkan format yang sudah digunakan dalam paket hasil revisi. Ini dimaksudkan agar struktur paket bimbingan moral tidak sebaku dan sekaku model atau paket belajar konvensional.


DAFTAR RUJUKAN

Anderson, R. H. 2004. “Moral Cognition: A Dual-Process Model of Moral Judgments”, Division III Thesis in School of Cognitive Science, Hampshire College. May, 2004.
Baker, Robert L. 1971. Designing Education for Future: Planning and Effecting Needed Changes in Education, New York: Citation Press
Budiningsih, C. Asri. 2001. Analisis Karakteristik Siswa Kaitannya dengan Tahap-tahap Penalaran moralnya, dalam Jurnal Teknonik, Edisi No. 9/V/Teknodik/ Oktober/ 2001.
Budiningsih, C. Asri. 2004. Pembelajaran Moral Berpijak Pada Karakteristik Siswa Dan Budayanya. Yogyakarta: PT Rineka Cipta.
Cushman, Fiery & Young, Liane, & Hauser, Marc. 2006. “The Role of Conscious Reasoning and Intuition in Moral Judgment: Testing Three Principles of Harm”, Psychological Science, Volume 17—Number 12, Association for Psychological Science. 1082-1089.
Dick, W. Carey, L. and Carey, J. O. 2001. The systematic design of instruction. New York: Harper Collins Publising.
Dina, Puspita, Tanjung dan Widiastuti. 2001. Laporan Karya Ilmiah Produktif Bidang Sosial. Bogor: Jurusan GMSK, Faperta, IPB.
Haidt, J. 2001. The emotional dog and its rational tail: A social intuitionist approach to moral judgment. Psychological Review, 108 (4) 814-834.
Haidt, J., & Hersh, M. 2001). Sexual morality: The cultures and emotions of conservatives and liberals. Journal of Applied Social Psychology, 31 (1) 191-221.
Hart, Gordon M. 1978. Values Clarification For Counselors. USA: Publisher.
Kohlberg, L. 1977. The Cognitive-Developmental Approach to Moral Education, in Hass Glen (ed). Curriculum Planning: A New Approach (2nd. Ed.). Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Masngudin HMS. 2006, Kenakalan Remaja sebagai Perilaku Menyimpang dan Hubungannya dengan Keberfungsian Sosial Keluarga. Kertas Kerja, 2006.
Mikhail, J. 2002. Law, science, and morality: A review of Richard Posner’s “The problematics of moral and legal theory. Stanford Law Review. 54 (5) pp. 1057-1127.
Moshman, David. 2005. Adolescent Psychological Development Rationality, Morality and identity. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Passineau, Joseph F. 1975. Walking the “Tightrope” of Environmental Education Evaluation, in Noel McInnis and Don Alberch, eds. What Makes Education Environmental?. Washington, D.C.: Data Courier, Inc. 372-407.
Piaget, Jean. 1965. The moral judgment of the child (M. Gabain, Trans.). New York: Free. Press. (Original work published 1932)
Popham, W. James, 1975. Designing Teacher Evaluation System. Los Angeles, California: The Instructional Objectives Exchange.
Pribadi. Firman. 2003. Polling di Bandung: 51,5% Remaja Lakukan Hubungan Seksual di Tempat Kos. Firman Pribadi.HTM.
Provus, Malcolm M. 1972. “The Discrepancy Evaluation Model”, Reading in Curriculum Evaluation, ed. P.A. Taylor and D.M. Cowley, Dubuque, Iowa: Wm. C. Brown.
Raines, Shirley C. and Isabell, Rebecca. 2002. The Values Book For Children. Published by Gryphon House, Inc.
Rofiqah. 2005. Jurnal Konseling Harian Bimbingan dan Konseling Sekolah Menengah Pertama Negeri 21 Kota Malang.
Rogers, Carl., 1977. Psychology of Adolesence. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Rosjidan. 2004. Peran profesional Konselor sebagai Pengembang Bahan Bimbingan. Makalah Seminar dan Lokakarya Life-skill dan kaitannya dengan perkembangan Karir, Universitas Kanjuruan Malang, 8 Maret 2004.
Schiller, Pam & Bryant, Tamera. 2002. The Values Book fr Children (16 Nilai Moral Dasar bagi Anak), Terjemahan Susi Sensui, Jakarta: Elex Media Komputindo.
Tuana, Nancy 2003. Moral Literacy. In Research Penn State. Volume 24. Issue 2. May 2003.
Wahyuning, Jash dan Rachmadiana. 2003. Mengkomunikasikan Moral Kepada Anak. Jakarta: Gramedia.
Wright, Jen Cole. 2005. “The Moral Epistemology of Natural Virtuous. Systems”, Working Paper, Departments of Psychology and Philosophy, University of Wyoming.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Setahu saya bidang bimbingan itu hanya bimbingan belajar, bimbingan karir, bimbingan pribadi, dan bimbingan sosial. Anda ini kok aneh-aneh, dengan menambahkan bidang baru Bimbingan Moral. Maksudnya apa?

Rofiqah, The Learning Partner mengatakan...

Pandangan konvensional memang membatasi empat bidang bimbingan tersebut, tetapi memperhatikan bahwa setiap manusia juga harus memiliki kemampuan untuk membuat keputusan dan tindakan moral, maka saya memandang perlu memperkenalkan bidang bimbingan baru, yaitu: bimbingan moral yang tentu berbeda dari matapelajaran tentang moral. Matapelajaran tentang moral bersifat siap pakai (seperti paket ajaran moral) sedangkan bimbingan moral lebih mengembangkan kemampuan mengambil keputusan dan tindakan moral (seperti metode keputusan moral).

Anonim mengatakan...

Asslmkm...permisi bu, saya mahasiswa pendidikan, bolehkah saya mengcopy buku milik ibu berikut?:
1. Passineau, Joseph F. 1975. Walking the “Tightrope” of Environmental Education Evaluation, in Noel McInnis and Don Alberch, eds. What Makes Education Environmental?. Washington, D.C.: Data Courier, Inc.
2. Provus, Malcolm M. 1972. “The Discrepancy Evaluation Model”, Reading in Curriculum Evaluation, ed. P.A. Taylor and D.M. Cowley, Dubuque, Iowa: Wm. C. Brown.
saya mohon sekali untuk bisa mengcopynya demi keperluan akademik saya. email ibu apa ya?tolonglah nanti saya kirim email ke ibu untuk saya minta nmr hp ibu. trims

Rofiqah, The Learning Partner mengatakan...

Sebagai penulis akademik pemula, saya menghargai hak cipta, jadi kurang berkenan pada pengkopian buku atau artikel.
Perihal email dan nomor HP, saya terikat pada komitmen untuk menjaga privasi saya sendiri. Saya tidak bisa memberikan kepada siapa pun terecuali mengenalnya dengan baik.