Jumat, 22 Mei 2009

Program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah Dasar


PMT-AS SEBAGAI PROYEK RAKYAT[1]

Oleh Rofiqah Rosidi[2]

Mulai 14 Juli 1996, sebanyak 2,1 juta murid SD di semua desa IDT luar Jawa dan Bali, memperoleh makanan tambahan disekolah. Untuk sementara, ini disebut Program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah Dasar (PMT-AS).
Rencananya, program ini akan diperluas sampai tahun 2002/2003 untuk sekitar 29 juta anak sekolah dasar di seluruh Indonesia, dan ditaksir membutuhkan dana tak kurang dari Rp. 70 milyar. Dengan acuan Rp 70 milyar untuk populasi 2,1 juta, bisa dihitung berapa dana yang dibutuhkan bila sasaran menjadi 29 juta.
Bagi Indonesia, investasi di bidang gizi kaum muda ini merupakan pilihan sangat jitu. Dari segi kualitas fisik, misalnya, program ini bisa menekan kasus kerdil nutrisi yang sangat memprihatinkan.
Lebih-lebih bila mencermati hasil kajian Rose dan Gyorgy (Malnutrition in Children in Indonesia, 1970). Dikemukakan, "Jika anda sebagai pengunjung dari luar negeri mengunjungi sebuah desa di Indonesia, anak-anak yang berkerumun untuk melihat anda kelihatan cukup sehat, dan kebanyakan dari mereka tidak kelihatan kurus. Baru setelah menanyakan umurnya, anda menyadari bahwa anda sudah menaksir umur terlalu rendah sebanyak dua tahun atau lebih. Istilah kerdil nutrisi telah berlaku untuk anak-anak tersebut".

Meta-riset
Investasi di bidang ini juga sejalan dengan temuan meta-riset tentang pengaruh program makan dan gizi di sekolah (nutrition and feedings programs). Walau Bruce Fuller (What School Factors Raise Achievement in the Third World, 1987), mengakui program makan di sekolah memperoleh perhatian sangat terbatas, pengaruhnya dinilai sangat meyakinkan. Dari 6 penelitian di berbagai negara, 5 di antaranya menyimpulkan pengaruh positif program makan dan gizi di sekolah.
Pengaruh kesehatan yang buruk bisa sangat dramatis. Dalam penelitian terhadap 3.699 siswa SD dan yang putus sekolah di Mesir, ditemukan bahwa status kesehatan siswa menjadi salah satu peramal terkuat terhadap prestasi belajar. Sebagai contoh, anak yang menderita sakit serius akan menurun prestasinya sekitar 50 persen (Hartley and Swanson, 1984).
Tak pelak lagi, Unicef (1991) menyebut program di bidang gizi merupakan salah satu investasi praktis. Ini tak lain karena kekurangan gizi terus-menerus akan menguras perkembangan fisik dan mental rakyat, yang berujung pada kegagalan pembangunan ekonomi dan sosial.
Tak diragukan lagi, walau sangat rumit dan berimplikasi anggaran besar, PMT-AS dinilai sebagai program strategis. Menurut Mendikbud Wardiman Djojonegoro, program ini tak hanya untuk kesehatan fisik, tetapi juga untuk kecerdasan anak. "Ini proyek rakyat, bukan proyek konglomerat", demikian ujarnya (Kompas, 13 Maret 1996).
Meski tersirat, ada harapan agar program ini terselenggara dengan strategi community-based. Karena bersandar pada peran-serta masyarakat, serangkaian kegiatan persuasif dan rasional yang berhasil harus dipertimbangkan sebagai pelapang jalan. Tanpa pengertian dan penyikapan yang benar, program itu akan menjadi beban berat atau hajat pemerintah semata.
Tampaknya, semacam penyuluhan berskala besar dan berkesinambungan harus dibuat. Paling tidak, karena sifat keberlanjutan programnya, penyuluhan itu harus menjangkau lebih ke dalam ketimbang kampanye PIN yang baru lalu. Model kampanye "gebrakan", tak bisa lagi diandalkan. Dengan ungkapan lain, penyuluhan itu harus menyentuh dunia kesadaran seluruh rakyat.
Persoalannya, bagaimana pemasaran sosial program PMT-AS mampu menembus dunia kesadaran itu?
Dalam konteks itulah kita bisa berpaling kepada teori tindakan beralasan (reasoned action theory) menurut Icek Ajzen. Menurut teori ini, perilaku manusia dibentuk oleh, atau merupakan fungsi dua faktor utama.
Pertama, faktor pribadi. Dari sisi ini, perilaku dibentuk oleh sikap terhadap tingkah laku. Keyakinan seseorang bahwa tingkah laku tertentu akan mencapai hasil tertentu dan penilaian terhadap hasil tersebut, akan membentuk arah penyikapan mereka (attitude toward certain behavior).
Kedua, faktor sosial. Dari sisi ini, munculnya perilaku tertentu juga disumbang oleh norma subyektif. Maksudnya, keyakinan seseorang bahwa orang atau kelompok terdekatnya itu menyetujui atau menentang tingkah laku dan motivasinya untuk patuh terhadap desakan sosial itu.
Pertimbangan interaktif antara sikap pribadi dengan norma subjektif inilah yang menentukan kecenderungan perilaku seseorang. Dari teori ini, tampak jelas bahwa upaya kependidikan untuk mendukung program PMT-AS harus diselenggarakan secara menyeluruh. Artinya, penyadaran tak hanya bersasaran individu, misalnya orang tua peserta didik, melainkan juga kelompok terdekat mereka.
Pada aras individu, sasaran potensial kampanye ini adalah para orang tua peserta didik. Sasaran ini wajib digarap bila program ini diniatkan berstrategi keswadayaan. Melalui analogi, misalnya, mereka bisa diyakinkan bahwa program PMT-AS merupakan "bekal jangka panjang" bagi anak yang sangat penting.
Pada aras sosial, sasaran strategis bisa dipilah menjadi dua segmen. Pertama, segmen masyarakat yang diharapkan berkontribusi dalam lingkup terbatas. Berbagai lembaga dan organisasi sosial bisa dimasukkan dalam kategori ini. Semacam "pengrajin sosial" berdiposisi psikologis, bukan posisi sosiologis, dengan potensi mengerahkan dan mengelola swadaya masyarakat setempat untuk PMT-AS berskala mikro.
Segmen sosial inilah yang diharapkan juga membentuk suasana kondusif melalui norma subjektif. Dengan begitu, desakan sosial bagi individu untuk menyukseskan program ini.
Kedua, segmen masyarakat yang diharapkan berkontribusi dalam lingkup lebih luas. Berbagai badan usaha maupun perseorangan yang cukup sehat bisa dimasukkan ke dalam kategori ini. Semacam "bapak asuh" dengan potensi sebagai penyandang dana PMT-AS bagi kelompok sasaran atau masyarakat yang kurang beruntung.
Akhirnya, kendati peran-serta masyarakat harus dibangun dan dirawat, kepeloporan tetap diharapkan muncul dari pemerintah. Paling tidak, prioritas untuk peserta didik di semua desa IDT luar Jawa dan Bali, merupakan langkah awal yang sangat jitu.
Hanya dengan keberpihakan itulah, meminjam ungkapan Chambers (1987), kaum miskin bisa dientas dari jebakan penjarahan.


[1] Artikel Opini dimuat di Harian Sore Surabaya Post, tanggal 29 Maret 1996, halaman 6.
[2] Penulis adalah kader Posyandu, pemerhati masalah anak dan pendidikan, tinggal di Malang.

2 komentar:

bambang sugianto mengatakan...

kami belum bisa membaca seluruhnya karena baru saya print out tadi pagi dan sebanyak 27 hal. tetapi setelah kami pelajari dan kami baca sebagian kami mengucapkan salut dan selamat buat Ibu Rofikah yang telah berhasil dalam pembuatan PTK semoga sukses selalu. Amien.

Rofiqah, The Learning Partner mengatakan...

Iya Bapak, terimakasih doanya. Ingatkan saya kalau ada kekurangan atau kesalahan. Salam.