Berbagi Peran dalam Perbaikan Gizi Rakyat[1]
Oleh Rofiqah Rosidi[2]
Dalam penjelasan tentang pokok-pokok RAPBN 1996/1997, Ginanjar Kartasasmita mengemukakan, sejalan hajat untuk meningkatkan mutu sumberdaya manusia, bantuan untuk sektor kesehatan meningkat paling tinggi (mencapai 42,2 persen), dengan jatah Rp 525,6 milyar.
Kenaikan ini dimaksudkan sebagai angin segar bagi peningkatan kesehatan gizi anak dan remaja. Bantuan itu antara lain berupa pemberian makanan tambahan dan obat cacing untuk 1,7 juga murid pada 19.000 SD di luar Jawa dan Bali yang prevalensi kekurangan gizi dan cacingannya cukup tinggi (Kompas, 5/1 1996). Karena kemendesakan masalah kekurangan gizi itu, upaya tersebut memang harus ditempuh.
Persoalannya, sampai kapan bantuan pemerintah untuk pemenuhan gizi tersebut harus dilakukan? Bagaimanakah ketergantungan rakyat terhadap bantuan pemerintah dapat dikurangi secara bertahap menuju kemandirian? Masalah ini, tak hanya tertuju kepada keluarga-keluarga di luar Jawa, tetapi juga keluarga di Jawa yang sekarang tidak mendapatkan jatah makanan bergizi.
Pada dasarnya ada tiga syarat untuk memperbaiki menu rakyat. Masing-masing adalah: (1) ketersediaan bahan makanan dalam jumlah dan mutu yang cukup, (2) kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsinya, (3) kemampuan masyarakat untuk memeperolehnya, baik dengan pertukaran maupun budidaya sendiri.
Karena itu, mendahului upaya perbaikan menu rakyat, ketersediaan bahan makanan harus terjamin. Implikasinya, perbaikan gizi rakyat tak hanya menyangkut peningkatan kesadaran masyarakat. Lebih jauh dari itu, usaha ini harus seiring dengan upaya pembinaan kaum petani agar meningkatkan produksi jenis-jenis bahan makanan berkandungan gizi tertentu. Bila usaha menuju swasembada gagal, usaha-usaha suplementasi melalui perdagangan harus dilakukan.
Tak bisa tidak, upaya perbaikan gizi rakyat bertali-temali dengan pembangunan sektor pertanian dan perdagangan. Karena itu, tak berlebihan bila koordinasi antar sektor dan departemen perlu ditingkatkan, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Demikian juga, pemantauan terhadap keadaan bahan makanan dan tindak-lanjutnya harus dilaksanakan secara berkesinambungan.
Hingga kini, perbaikan menu rakyat mengandalkan pendekatan edukatif-persuasif. Memperbaiki menu berarti meningkatkan pemahaman dan kehendak rakyat untuk mengkonsumsi bahan makanan menurut kaidah ilmiah.
Dalam idiom keagamaan (Islam), berlaku dua kriteria bahan makanan, yaitu halal dan thayib. Ranah kehalalan mencakup kriteria substansi, cara pemerolehan dan penanangan bahan makanan. Sedang ranah thayib, mencakup kriteria jumlah dan mutu zat gizi (nutrient) bahan makanan.
Tanpa mengurangi kepentingan kriteria halal, syarat penting setiap susunan menu adalah mengandung semua zat gizi yang diperlukan tubuh. Sayangnya, berbagai zat gizi tidak terdapat merata dalam bahan makanan tertentu. Karenanya, untuk menjamin ketercukupan semua zat gizi, susunan hidangan harus terdiri atas berbagai jenis bahan makanan. Makin beragam suatu susunan menu, makin terjamin kemungkinan tersedianya semua zat gizi yang diperlukan. Karena itu, upaya perbaikan menu rakyat bisa berarti mendorong penganeka-ragaman bahan makanan utama.
Pola makan adalah masalah perilaku, yang bergerak di atas kontinum pertimbangan nalar dan lidah. Karena itu, setiap menu harus mampu membangkitkan selera dan cita rasa. Tak hanya itu, suatu hidangan yang baik dituntut untuk memenuhi cita rasa indrawi manusia. Indra pengecap butuh makanan lezat. Indra penglihatan ingin pola penghidangan rapi dan menarik. Indra pembauan bergairah pada hidangan beraroma harum. Indra peraba senang makanan bertekstur lembut. Tak hanya itu, selera makan juga meningkat ketika terdengan bunyi juru masak sedang menggoreng masakan pesanan kita.
Pada tahap lanjut, kebutuhan sosial juga membentuk pola makan seseorang. Secara sosiologis, terbukti ada bahan tertentu yang bernilai sosial lebih tinggi ketimbang bahan makanan lain. Roti, misalnya, cenderung memiliki sosial lebih tinggi ketimbang singkong. Sebagian besar dari kita pun merasa lebih terhormat makan nasi beras ketimbang makan nasi jagung. Tak hanya itu, setiap sistem sosio-budaya juga membentuk kebiasaan dan kepercayaan tertentu. Terlepas dari pertimbangan nalar, beberapa bahan makanan dinilai sebagai pantangan. Sekedar contoh, tidak jarang ditemukan bahwa menu yang disediakan oleh instalasi gizi rumah sakit tidak dimakan oleh para pasien.
Belakangan, seiring peningkatan gairah bekerja, keseimbangan gizi tak hanya mengancam mereka yang makan di luar rumah. Masalah ini tak begitu parah andai semua pekerja mendapatkan kantin dengan bersajian menu memadai. Sayangnya, kalaupun tersedia di kantin, tak semua pekerja cukup memiliki daya beli. Lebih dari itu, anak-anak modern, yang kedua orang tuanya yang sama-sama bekerja di luar rumah, terpaksa dilayani oleh para pembantu rumah tangga. Karena kedudukan lemahnya, para pembantu pun terpaksa mengalah kepada selera dan kesenangan anak-anak. Akibatnya, keseimbangan gizi anak-anak pun terancam. Kecenderungan anak-anak mendukung upaya perbaikan gizi masyarakat.
Seperti telah disinggung, ketersediaan dan kesadaran masih belum cukup kuat untuk perilaku sadar gizi rakyat. Ubahan deterministik lainnya adalah kemampuan untuk mendapatkannya, baik dengan cara pertukaran maupun membudi-dayakan sendiri. Memang ada kemungkinan bagi daerah pedesaan untuk memanfaatkan lahan pekarangan untuk mendukung program gizi terapan (applied nutrition program), namun bagian terbesar adalah yang harus memperolehnya dengan cara membeli. Karenanya, kendati pendidikan gizi berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat, menu makan sebenarnya sangat dibatasi oleh daya-beli mereka.
Dari ketiga syarat untuk memperbaiki menu rakyat tersebut, kemajuan sangat pesat justru dicapai oleh variabel kesadaran masyarakat. Tak banyak lagi warga masyarakat yang belum mengerti konsep empat sehat lima sempurna. Tampaknya, justru dalam kedua variabel yang lain itu komitmen segenap unsur bangsa untuk membangun sumberdaya manusia masih perlu diuji.
Tanpa berhitung njelimet pun kita dapat mengamati pola makan kaum petani dan buruh tani. Kendati masih menunjukkan adanya keempat unsur "empat sehat", yang lebih sering adalah gejala menurun dan menghilangnya beberapa komponen tertentu. Bahan makanan pokok terlalu menonjol, lauk pauk semakin kecil peranannya, dan sedang buah-buahan, sering menghilang dari susunan menu harian. Lebih menyedihkan, karena menu itu berlaku tanpa pandang bulu. Tak peduli apakah ada anggota keluarga yang balita, hamil, dan menyusui. Semua memakan bahan makanan yang sama. Tak heran bila seorang anak SD di desa berlahan kering menganggap menu empat sehat lima sempurna sebagai menu orang kota. Adanya hanya di buku-buku IPA.
Keadaan kaum pekerja di perkotaan pun tidak lebih baik. Kekurang-berhasilan Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI) menuntut Upah Minimal Regional (UMR) berdasar Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) dan bukan Kebutuhan Fisik Minimum (KFM), merupakan cermin perlunya komitmen itu dimantapkan kembali. Kendati UMR naik rata-rata 10,63 persen, angkanya masih di bawah standar. Setelah kenaikan itu, para pekerja kita masih 86 persen menuju standar KHM (Kompas, 9/1 1996). Keprihatinan memang harus ditunjukkan, karena masih ada pengusaha kita yang berlagak sok miskin dan mengajukan penundaan untuk membayar UMR. Kecenderungan sok miskin juga tampak pada perusahaan yang mestinya mampu membayar lebih dari UMR, tidak menunjukkan kehendak untuk membayar lebih dari UMR. Lebih memprihatinkan lagi, UMR yang dimaksudkan sebagai floor price, yang mestinya juga sekedar memenuhi floor budget pekerja, ternyata digunakan sebagai alat represif terhadap unjuk-rasa para pekerja. Itulah berbagai kendala struktural makro yang memang tampak memprihatinkan. Semoga tak memutus-asakan para kader terkait, UPGK dan Posyandu. Selamat Hari Gizi Nasional.
Oleh Rofiqah Rosidi[2]
Dalam penjelasan tentang pokok-pokok RAPBN 1996/1997, Ginanjar Kartasasmita mengemukakan, sejalan hajat untuk meningkatkan mutu sumberdaya manusia, bantuan untuk sektor kesehatan meningkat paling tinggi (mencapai 42,2 persen), dengan jatah Rp 525,6 milyar.
Kenaikan ini dimaksudkan sebagai angin segar bagi peningkatan kesehatan gizi anak dan remaja. Bantuan itu antara lain berupa pemberian makanan tambahan dan obat cacing untuk 1,7 juga murid pada 19.000 SD di luar Jawa dan Bali yang prevalensi kekurangan gizi dan cacingannya cukup tinggi (Kompas, 5/1 1996). Karena kemendesakan masalah kekurangan gizi itu, upaya tersebut memang harus ditempuh.
Persoalannya, sampai kapan bantuan pemerintah untuk pemenuhan gizi tersebut harus dilakukan? Bagaimanakah ketergantungan rakyat terhadap bantuan pemerintah dapat dikurangi secara bertahap menuju kemandirian? Masalah ini, tak hanya tertuju kepada keluarga-keluarga di luar Jawa, tetapi juga keluarga di Jawa yang sekarang tidak mendapatkan jatah makanan bergizi.
Pada dasarnya ada tiga syarat untuk memperbaiki menu rakyat. Masing-masing adalah: (1) ketersediaan bahan makanan dalam jumlah dan mutu yang cukup, (2) kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsinya, (3) kemampuan masyarakat untuk memeperolehnya, baik dengan pertukaran maupun budidaya sendiri.
Karena itu, mendahului upaya perbaikan menu rakyat, ketersediaan bahan makanan harus terjamin. Implikasinya, perbaikan gizi rakyat tak hanya menyangkut peningkatan kesadaran masyarakat. Lebih jauh dari itu, usaha ini harus seiring dengan upaya pembinaan kaum petani agar meningkatkan produksi jenis-jenis bahan makanan berkandungan gizi tertentu. Bila usaha menuju swasembada gagal, usaha-usaha suplementasi melalui perdagangan harus dilakukan.
Tak bisa tidak, upaya perbaikan gizi rakyat bertali-temali dengan pembangunan sektor pertanian dan perdagangan. Karena itu, tak berlebihan bila koordinasi antar sektor dan departemen perlu ditingkatkan, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Demikian juga, pemantauan terhadap keadaan bahan makanan dan tindak-lanjutnya harus dilaksanakan secara berkesinambungan.
Hingga kini, perbaikan menu rakyat mengandalkan pendekatan edukatif-persuasif. Memperbaiki menu berarti meningkatkan pemahaman dan kehendak rakyat untuk mengkonsumsi bahan makanan menurut kaidah ilmiah.
Dalam idiom keagamaan (Islam), berlaku dua kriteria bahan makanan, yaitu halal dan thayib. Ranah kehalalan mencakup kriteria substansi, cara pemerolehan dan penanangan bahan makanan. Sedang ranah thayib, mencakup kriteria jumlah dan mutu zat gizi (nutrient) bahan makanan.
Tanpa mengurangi kepentingan kriteria halal, syarat penting setiap susunan menu adalah mengandung semua zat gizi yang diperlukan tubuh. Sayangnya, berbagai zat gizi tidak terdapat merata dalam bahan makanan tertentu. Karenanya, untuk menjamin ketercukupan semua zat gizi, susunan hidangan harus terdiri atas berbagai jenis bahan makanan. Makin beragam suatu susunan menu, makin terjamin kemungkinan tersedianya semua zat gizi yang diperlukan. Karena itu, upaya perbaikan menu rakyat bisa berarti mendorong penganeka-ragaman bahan makanan utama.
Pola makan adalah masalah perilaku, yang bergerak di atas kontinum pertimbangan nalar dan lidah. Karena itu, setiap menu harus mampu membangkitkan selera dan cita rasa. Tak hanya itu, suatu hidangan yang baik dituntut untuk memenuhi cita rasa indrawi manusia. Indra pengecap butuh makanan lezat. Indra penglihatan ingin pola penghidangan rapi dan menarik. Indra pembauan bergairah pada hidangan beraroma harum. Indra peraba senang makanan bertekstur lembut. Tak hanya itu, selera makan juga meningkat ketika terdengan bunyi juru masak sedang menggoreng masakan pesanan kita.
Pada tahap lanjut, kebutuhan sosial juga membentuk pola makan seseorang. Secara sosiologis, terbukti ada bahan tertentu yang bernilai sosial lebih tinggi ketimbang bahan makanan lain. Roti, misalnya, cenderung memiliki sosial lebih tinggi ketimbang singkong. Sebagian besar dari kita pun merasa lebih terhormat makan nasi beras ketimbang makan nasi jagung. Tak hanya itu, setiap sistem sosio-budaya juga membentuk kebiasaan dan kepercayaan tertentu. Terlepas dari pertimbangan nalar, beberapa bahan makanan dinilai sebagai pantangan. Sekedar contoh, tidak jarang ditemukan bahwa menu yang disediakan oleh instalasi gizi rumah sakit tidak dimakan oleh para pasien.
Belakangan, seiring peningkatan gairah bekerja, keseimbangan gizi tak hanya mengancam mereka yang makan di luar rumah. Masalah ini tak begitu parah andai semua pekerja mendapatkan kantin dengan bersajian menu memadai. Sayangnya, kalaupun tersedia di kantin, tak semua pekerja cukup memiliki daya beli. Lebih dari itu, anak-anak modern, yang kedua orang tuanya yang sama-sama bekerja di luar rumah, terpaksa dilayani oleh para pembantu rumah tangga. Karena kedudukan lemahnya, para pembantu pun terpaksa mengalah kepada selera dan kesenangan anak-anak. Akibatnya, keseimbangan gizi anak-anak pun terancam. Kecenderungan anak-anak mendukung upaya perbaikan gizi masyarakat.
Seperti telah disinggung, ketersediaan dan kesadaran masih belum cukup kuat untuk perilaku sadar gizi rakyat. Ubahan deterministik lainnya adalah kemampuan untuk mendapatkannya, baik dengan cara pertukaran maupun membudi-dayakan sendiri. Memang ada kemungkinan bagi daerah pedesaan untuk memanfaatkan lahan pekarangan untuk mendukung program gizi terapan (applied nutrition program), namun bagian terbesar adalah yang harus memperolehnya dengan cara membeli. Karenanya, kendati pendidikan gizi berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat, menu makan sebenarnya sangat dibatasi oleh daya-beli mereka.
Dari ketiga syarat untuk memperbaiki menu rakyat tersebut, kemajuan sangat pesat justru dicapai oleh variabel kesadaran masyarakat. Tak banyak lagi warga masyarakat yang belum mengerti konsep empat sehat lima sempurna. Tampaknya, justru dalam kedua variabel yang lain itu komitmen segenap unsur bangsa untuk membangun sumberdaya manusia masih perlu diuji.
Tanpa berhitung njelimet pun kita dapat mengamati pola makan kaum petani dan buruh tani. Kendati masih menunjukkan adanya keempat unsur "empat sehat", yang lebih sering adalah gejala menurun dan menghilangnya beberapa komponen tertentu. Bahan makanan pokok terlalu menonjol, lauk pauk semakin kecil peranannya, dan sedang buah-buahan, sering menghilang dari susunan menu harian. Lebih menyedihkan, karena menu itu berlaku tanpa pandang bulu. Tak peduli apakah ada anggota keluarga yang balita, hamil, dan menyusui. Semua memakan bahan makanan yang sama. Tak heran bila seorang anak SD di desa berlahan kering menganggap menu empat sehat lima sempurna sebagai menu orang kota. Adanya hanya di buku-buku IPA.
Keadaan kaum pekerja di perkotaan pun tidak lebih baik. Kekurang-berhasilan Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI) menuntut Upah Minimal Regional (UMR) berdasar Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) dan bukan Kebutuhan Fisik Minimum (KFM), merupakan cermin perlunya komitmen itu dimantapkan kembali. Kendati UMR naik rata-rata 10,63 persen, angkanya masih di bawah standar. Setelah kenaikan itu, para pekerja kita masih 86 persen menuju standar KHM (Kompas, 9/1 1996). Keprihatinan memang harus ditunjukkan, karena masih ada pengusaha kita yang berlagak sok miskin dan mengajukan penundaan untuk membayar UMR. Kecenderungan sok miskin juga tampak pada perusahaan yang mestinya mampu membayar lebih dari UMR, tidak menunjukkan kehendak untuk membayar lebih dari UMR. Lebih memprihatinkan lagi, UMR yang dimaksudkan sebagai floor price, yang mestinya juga sekedar memenuhi floor budget pekerja, ternyata digunakan sebagai alat represif terhadap unjuk-rasa para pekerja. Itulah berbagai kendala struktural makro yang memang tampak memprihatinkan. Semoga tak memutus-asakan para kader terkait, UPGK dan Posyandu. Selamat Hari Gizi Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar