Kamis, 03 Februari 2011

KONTRIBUSI BIMBINGAN DAN KONSELING BAGI KESEHATAN JIWA SISWA


KONTRIBUSI BIMBINGAN DAN KONSELING BAGI KESEHATAN JIWA SISWA[1]


 

Rofiqah[2]

 Baru-baru ini, baik pada tingkat global, nasional maupun lokal, telah ditemukan betapa gangguan kesehatan jiwa telah meningkat dan sangat memprihatinkan. Pada tingkat global, Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan tidak kurang dari 450 juta penderita gangguan jiwa ditemukan di dunia. Jaringan Epidemiologi Psikiatri Indonesia menemukan 185 dari 1000 penduduk menunjukkan gejala gangguan kesehatan jiwa. Memprihatinkan, karena terbesar justru dialami oleh kelompok usia 15 - 50 tahun.
Memang ada pihak-pihak yang terkejut dan prihatin dengan gejala tersebut. Namun demikian, lebih banyak pula pihak yang tidak menganggap penting persoalan gangguan kesehatan jiwa. Bahkan, ada sejumlah pendidik yang menganggap persoalan gangguan kesehatan jiwa sebagai persoalan yang sama sekali di luar pendidikan.
Secara hipotetik, penulis menduga bahwa sikap kurang peduli terhadap gangguan kesehatan jiwa diakibatkan oleh pemahaman yang kurang memadai terhadap pengertian dan gejala gangguan kesehatan jiwa, dan pengetahuan yang kurang memadai terhadap dampak yang ditimbulkan oleh gangguan kesehatan jiwa, baik bagi mereka yang sudah bekerja maupun terutama para pelajar. Karena itu, tulisan ini bermaksud memberikan paparan ringkas tetapi jernih tentang: (1) Pengertian dan Gejala Gangguan Kesehatan Jiwa, dan (2) Masalah Gangguan Kesehatan Jiwa Siswa, dan (3) Kontribusi Bimbingan dan Konseling bagi Kesehatan Jiwa Siswa.

Pengertian dan Gejala Gangguan Kesehatan Jiwa

Hingga ini banyak pihak memiliki pemahaman kurang tepat mengenai kesehatan jiwa. Kesehatan jiwa dilihat semata-mata sebagai persoalan individual. Padahal kesehatan jiwa sama sekali tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Semestinya kesehatan jiwa dipahami sebagai persoalan lintas disiplin, bukan hanya persoalan bidang kajian dan proresi psikologi dan psikiatri.
Ada beberapa prinsip dasar untuk memahami kesehatan jiwa secara tuntas, yaitu: (1) kesehatan jiwa tidak sebatas ada atau tidaknya perilaku abnormal, (2) kesehatan jiwa adalah konsep ideal, dan (3) kesehatan jiwa sebagai bagian dan ciri taraf hidup insani.
Gangguan kesehatan jiwa bisa didefinisikan sebagai pola perilaku atau psikologis pada individu dengan penanda sejumlah gejala. American Psychiatric Association (1994) merinci sejumlah gejala gangguan kesehatan jiwa, yang mencakup: adanya rasa stress, ketidakmampuan, dan peningkatan risiko secara bermakna untuk mati, sakit, ketidakmampuan atau kehilangan kebebasan.
Sejumlah kajian menunjukkan ada dua faktor utama yang merupakan penyebab terjadinya gangguan kesehatan jiwa, yaitu:  (1) faktor-faktor penyebab (precipitating factors), dan (2) faktor pendukung (predisposing factors).
Faktor penyebab faktor-faktor biologis berupa gangguan fisik seperti kecapaian, kelaparan, kurang tidur, kurang gizi, penyakit, gangguan pada sistem syaraf. Jika berkadar cukup tinggi, gangguan ini akan memudahkan munculnya gangguan psikologis, lebih-lebih bila faktor pendukungya telah ada. Faktor penyebab berikutnya adalah faktor psikis. Ini mencakup adanya konflik, frustrasi dan berbagai macam tekanan dapat menjadi pemicu bagi timbulnya gangguan kesehatan jiwa. Dua faktor penyebab lagi adalah faktor-faktor sosial yang mencakup semua pengaruh lingkungan dan pengalaman sosial, dan faktor rohani seperti reasa dihantui oleh perasaan berdosa dan bersalah.
Kedua, faktor-faktor pendukung. Ini mencakup semua gejala yang terjadi sebelum seorang individu mengalami situasi yang penuh dengan tekanan. Faktor ini lazimnya telah ada dalam diri seseorang, seperti faktor biologis, psikologis dan sosial. Salah satu faktor biologis penentu gangguan kesehatan jiwa dalah faktor keturunan. Sangat besar kemungkinan individu untuk mengalami gangguan psikologis karena mewarisi bakat-bakat biologis dari orang tuanya. Terkait ini, para ahli menemukan bahwa anak kembar identik kemungkinan untuk mengalami schizophrenia sebesar 58%, sedangkan anak kembar tidak identik hanya 10%.
Faktor lainnya bersifat kimiawi, seperti temuan bahwa gangguan psikologis bisa disebabkan oleh adanya gangguan cairan kimiawi di otak dan pusat sistem syaraf. Beberapa di antaranya adalah: (1) dopamine, yang menyebabkan penyakit Parkinson dengan gejala wajah kaku, tidak bergerak-gerak, dab kekejangan otot, (2) taraxein yang dikenali sebagai penyebab schizophrenia, (3) catecholamines yang merangsang kerja sistem syaraf sehingga kelebihan cairan ini akan mengakibatkan gangguan kejiwaan yang disebut mania, sedangkan bila kekurangan akan menyebabkan depresi.
Dari faktor psikologis, pengalaman masa kecil, seperti: (a) kekurangan kasih sayang cenderung berbarengan dengan sikap antisosial, senantiasa merasa tidak aman, frustrasi, tertekan dan besikap bermusuhan dengan orang lain, (b) penolakan dari orangtua yang mengakibatkan perasaan tidak berharga dan tidak berguna, senatiasa merasa kesepian, tidak bahagia, dan merasa tidak ama, (c) perlindungan yang berlebihan dari orangtua sehingga mengakibatkan anak tidak dapat mandiri, mudah nervous, pasif, dan tidak mampu mengatasi tekanan hidup, (d) sikap memanjakan dari orang tua yang mengakibatkan tumbuhnya sikap egois, tidak tahu bertanggung jawab, kesulitan untuk menyesuaikan diri, terlalu peka terhadap aturan dan perintah, (e) tuntutan yang berlebihan dari orang tua yang perfectionis yang  mengakibatkan anak cenderung rendah diri, tidak aman, cemas, mudah memyalahkan diri sendiri, emosi tidak stabil, tidak tahan dengan tekanan hidup.

Masalah Gangguan Kesehatan Jiwa Siswa

Masalah Gangguan Kesehatan Jiwa tidak hanya dialami oleh kaum dewasa, tetapi juga anak-anak dan remaja yang masih sekolah. Beberapa masalah kesehatan jiwa yang ditemukan pada anak-anak usia sekolah adalah:
1.      Prestasi belajar rendah. Seorang anak dipandang mengalami prestasi belajar rendah, apabila prestasinya di bawah teman sebaya karena mengalami kesulitan belajar yang membutuhkan perhatian khusus.
2.      Gangguan hiperkinetik. Gangguan ini menunjuk pada sekumpulan sindrom yang terdiri dari aktivitas fisik berlebihan, kurang mampu memusatkan perhatian dan sikap dan tindakan impulsif.
3.      Gangguan tingkah laku. Ini menunjuk pada pola tingkah laku anti sosial, sikap agresif, suka menentang dan menantang secara menetap dalam bentuk ekstrim.
4.      Menolak ke sekolah atau fobia sekolah. Ini menunjuk pada suatu keadaan di mana anak merasa takut yang tidak masuk akal (irasional) untuk pergi ke sekolah.
5.      Gangguan kecemasan. Ini merupakan gangguan emosional yang paling banyak ditemukan yang bermanifestasi dalam bentuk gejala fisik dan psikologis.
6.      Gangguan bicara (gagap). Gangguan ini mudah dikenali karena anak berbicara tidak lancar, terpatah-patah yang sering terdapat anak dalam keadaan cemas.
7.      Gangguan depresif. Depresi mencakup sekumpulan gejala yang menyebabkan penderita tidak mampu menikmati kehidupan sehari-hari.
8.      Gangguan fisik relatif permanen, seperti anak dengan penyakit fisik kronis, keterbatasan fisik atau cacat, kelumpuhan tungkai atau lengan atau serangan asma berulang kali.
9.      Epilepsi. Gangguan ini ditandai oleh sifat serangannya yang mendadak sehingga anak hilang kesadaran dengan disertai kejang.
10.  Gangguan psikotik. Ini merupakan gangguan jiwa dengan gejala ketidak-mampuan menilai realitas yang dapat dilihat dari penampilan, perilaku, proses pikir atau perasaan.

Kontribusi Bimbingan dan Konseling

Layanan bimbingan dan konseling merupakan proses pemberian bantuan yang diberikan kepada siswa secara terus-menerus agar tercapai kemandirian dalam pemahaman diri, sehingga siswa sanggup mengarahkan dirinya sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat.
Tersirat dalam konsep layanan bimbingan dan konseling, bahwa salah satu sasaran yang harus diwujudkan --- baik sebagai tujuan akhir maupun sebagai tujuan antara dalam rangka pendidikan --- bahwa anak harus mencapai kesehatan jiwa.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan ciri-ciri mental sehat seseorang, yaitu: mampu melakukan penyesuaian diri, memiliki kepribadian utuh, bebas dari rasa gagal, pertentangan batin, kecemasan dan tekanan, bertingkah laku normatif, bertanggung jawab, memiliki kematangan dalam sikap dan perilaku, memiliki kemandirian dalam tugas dan kewajiban, serta bisa mengambil keputusan dengan baik.
Berkenaan dengan kesehatan jiwa, memang bimbingan dan konseling lebih diharapkan berperan pada upaya pencegahan. Upaya bimbingan dan konseling kesehatan jiwa peserta didik bisa digolongkan menjadi beberapa kelompok, yaitu:
Pertama, promosi kesehatan jiwa. Ini meliputi segala usaha peningkatan kesehatan jiwa, termasuk di dalamnya menjelaskan kepada semua komunitas sekolah, khususnya siswa, tentang pengertian serta tanda-tanda anak yang berjiwa sehat, serta dari siapa bila menghadapi gejala tersebut dapat memperoleh bantuan.
Kedua, pencegahan primer. Ini dilakukan dengan menciptakan suasana yang positif sehingga mampu menghilangkan berbagai faktor pendukung (predisposisi) bagi munculnya gejala gangguan kesehatan jiwa. Bimbingan dan konseling harus mengambil peran sebagai strategis dalam penciptaan suasana sekolah ini.
Ketiga, pencegahan sekunder. Ini merupakan usaha kesehatan jiwa agar bisa menemukan kasus sedini mungkin dan penyembuhan secara tepat terhadap gangguan kesehatan jiwa. Usaha ini dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi jangka waktu gangguan agar tidak berdampak lebih parah, baik terhadap individu maupun masyarakat. Karena itu, tenaga bimbingan dan konseling selayaknya melengkapi diri dengan kecakapan melakukan terapi jenis ini.
Keempat, pencegahan tersier. Ini merupakan usaha rehabilitasi awal yang dapat dilakukan terhadap individu yang mengalami gangguan jiwa. Langkah ini bisa dilakukan setelah seorang anak mendapatkan layanan dari tenaga profesional psikiatri dak dikembalikan ke sekolah. Karena itu, komunikasi, konsultasi, dan koordinasi antara tenaga bimbingan dan konseling dengan psikiatri sangat diperlukan.
Menutup tulisan pendek ini, penulis hendak menggaris-bawahi bahwa kesehatan jiwa tidak kalah penting dibanding kesehatan fisik. Kendatipun seseorang sehat secara fisik, kalau secara psikologis memiliki kecenderungan untuk mengakhiri hidupnya, maka kualitas kesehatan fisik sama sekali tidak bermakna. Sekian.


[1] Secara ringkas, artikel ini dimuat dalam Koran Pendidikan, http://koranpendidikan.com/kontribusi-bk-bagi-kesehatan-jiwa-siswa.html
[2] Penulis adalah Magister Bimbingan dan Konseling. Kini mengabdikan diri sebagai Konselor Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 10 Kota Malang. 

Tidak ada komentar: